Baby, my day

Cerita Berat Badan Liam Chapter 3 : Cek Urin & Feses

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamualaikum, Alhamdulillah sekarang saya sudah sekota dengan suami. Kami sudah komitmen serius menangani ADB Liam dan berikhtiar untuk naikin BB Liam. Setelah periksa ke dokter Virda, kami jadi rajin browsing masalah ADB. Semua blog kami baca, baik lokal maupun luar negeri. Semua forum kami baca juga. Kami saling share link artikel setelah membaca untuk bahan diskusi. Kami menemukan info bahwa bayi umur 4 bulan sudah boleh diberi suplemen zat besi untuk mencegah ADB. Sedih sih, kami gak pernah dapet info itu di postingan-postingan IG padahal penting sekali. Saya tadinya mengira pemberian apapun selain ASI (termasuk obat dan suplemen), membuat ASI sudah gak eksklusif lagi. Padahal saya kan maunya eksklusif sampai usia 6 bulan. Ternyata gak begitu. Yang dimaksud eksklusif itu no sufor no MPASI. Kalau bayi diberi obat dengan suplemen ya masih disebut ASI eksklusif.

Kami juga ngerasa perlu mencari dokter disini yang bisa diajak ngobrol dan diskusi panjang soal Liam sekaligus untuk langganan imunisasi. Lalu kami sepakat akhir bulan konsultasi ke DSA. Hasil nanya-nanya ke teman kantor, sepakatlah kami memilih dokter Riko Rusli di RSBT (Rumas Sakit Bakti Timah). Kami kesana pulang kerja dan ternyata jadwal dokter Riko hanya sampai jam 6 sore. Karena gak cukup waktu, kami memilih dokter lain. Sehabis  magrib, kami kesana bersama Liam untuk konsultasi. Pas ditimbang, BB nya masih sama dengan bulan lalu (usia saat ini sudah 8 bulan). Artinya sudah 3 bulan berturut-turut gak naik. Kami cerita ke dokter. Dokternya sudah tua dan pendiam. Dokternya manggut-manggut denger cerita saya. Liam dibaringkan di kasur, diperiksa kepala dan leher terus sudah begitu saja. Liam diberi resep suplemen vitamin yang mana dokter mengklaim dapat menambah nafsu makan.

Kami pun pulang dengan rasa tidak puas. Kami inginnya kan diskusi panjang lebar, tapi tadi hanya sepuluh menit kami di ruangan. Akhirnya kami memutuskan untuk ke dokter rekomendasi kedua yaitu dokter Irna Chandra di RS Siloam. Hari Sabtu kami kesana, sore sekitar jam empat. Jadwal dokter Irna ternyata hanya sampai jam 4 sore, adanya dokter lain. Sedih banget. RS Siloam ini sangat jauh dari rumah. Mau pulang kok nanggung karena hari minggu semua dokter spesialis libur. Mau konsultasi ke dokter lain kuatir kejadian seperti di RSBT. Akhirnya kami memutuskan untuk mencoba konsultasi ke dokter lain ini. Nama dokternya Rianasyah, biasa dipanggil dokter Ria. Disini BB Liam ditimbang naik 200gr. Alhamdulillah, dokternya suka ngobrol dan bisa diajak diskusi. Ceritalah kami semuanya dari awal sampai akhirnya bisa ke dokter Ria ini. Dokter kalau manggil saya mama, manggil suami papa.

“Mama kenapa gonta ganti dokter? Pasti karena gak puas dengan hasilnya ke dedek ya?”

Langsung jleeeeb.

“Iya dok, kami awalnya bingung kok dikasi jadwal makan saja tetapi gak disuruh tes lab. Trus dua minggu setelahnya yang mana sudah ngikutin jadwal dan kasih sufor, ga naik juga BB nya……”

“Ya kan itu baru awalnya. Ngasih jadwal makan dan feeding rules itu baru awal. Memang sudah naatin feeding rules bener bener? Makannya sambil main gak? Sambil digendong apa duduk? Sambil nonton TV ato gak? Kalau ga berhasil naik BB, baru kembali lagi untuk evaluasi. Lha kalau kayak gini beda beda dokter, bingung dong, saya gak tau penanganan awalnya gimana karena awalnya gak dengan saya…..”

Betul sekali. Kami selalu mengira Liam ini ada masalah di kesehatannya dan butuh tes.Saat ke dokter Julius, saya gak puas karena dokter cuma memberi jadwal makan tanpa curiga ke arah medis. Padahal saya baca di IG tuh banyak macem masalah anak gak mau makan. Kebanyakan kalau gak ADB, TB, ISK yang butuh tes lab. Jadi saya ngerasa Liam ini butuh tes. Belum lagi suplemen zat besi yang udah sebulan kami kasih ke Liam, ga membuat nafsu makannya membaik. Disinilah salahnya kami. Kami pengennya dapet diagnosa cepat trus diobatin cepat. Liam makannya bagus trus BB naik. Udah beres. Case closed. Tapi Allah belum rela ujian yang dikasih ke kami langsung selesai gitu aja.Hasil cek darah Liam juga kami berikan ke dokter Ria. Kami bilang Liam ADB.

“Ini kan cuma cek Hb aja, mama. ADB atau gaknya, gak ketauan kalau cuma ini hasilnya”

Nambah pusing saya dengan suami. Ternyata screening ADB gak bisa cuma ngambil darah di jari. Tesnya lebih rumit. Kami pun dikasih pengantar untuk cek darah lagi sekaligus cek urin dan feses. Kalau dari hasil lab sebelumnya, memang Liam anemia tetapi anemia apa belum tau. Selain itu kami juga diminta mencatat asupan Liam tiap hari. Dibuat semacam diari makan yang isinya berapa ml susu yang masuk, berapa banyak makannya, apa aaja dan ngemilnya juga untuk rujukan ke ahli gizi.

Untuk tes darah lanjutan, kami memutuskan untuk cek darah saat itu juga. Untuk urin dengan feses, kami diberi botol untuk wadal sampel. Pengambilan sampel dilakukan di rumah. Saya ke kasir dulu untuk bayar cek labnya. Total biaya sekitar 900ribu. Setelah bayar, kami menuju ke lab untuk cek darah. Karena di ruang lab ga ada kasur,kami dengan petugas lab ke klinik anak lagi untuk pengambilan darah.

“Bu, ini ngambil darahnya dari lengan ya. Butuh 3 tabung.”

“Loh banyak banget mbak?”

“Iya ini yang mau dites banyak”

Saya cek lagi kwitansi, dan emang ada 4 macam yang dites. Saya dengan suami bingung bagaimana cara mengambil darah dari lengan Liam. Liam pasti bakal berontak. Ditaruh di timbangan bayi saja gak mau. Saya, perawat dengan petugas lab ke salah satu ruangan yang ada ranjangnya. Saya pegang tangan kiri, perawat  pegang tangan kanan, suami megang kaki. Seperti yang saya tebak, Liam berontak. Sangat kuat berontaknya sambil menangis kencang sekali. Petugas lab ga kunjung menemukan pembuluhnya karena Liam terus bergerak. Sudah dipegang sedemikian rupa tetapi tetep ga ketemu. Akhirnya kami udahan. Dengan kondisi Liam udah teriak+nangis gila gilaan gitu kami ga tega lagi. Kami bilang ke petugas lab supaya cek darahnya ditunda. Setelah kejadian tadi, Liam gak mau saya gendong. Maunya digendong suami. Lima menit kemudian nangisnya mereda setelah suami ajak jalan keluar ruangan. Saya ajak gendong lagi untuk nenen, eh tetap menolak. Sedih banget saya tuh ☹ Akhirnya mau nenen pas di mobil perjalanan pulang.

Besoknya kami pulang lebih awal ke rumah untuk ambil pipis Liam. Saya lepas diaper Liam kemudian saya dudukkan di playmat. Kebetulan semenit kemudian Liam pipis. Untungnya saya sudah siap memegang botol sampel yang langsung saya tempelkan ke tititnya. Lanjut ambil sampel feses. Kebetulan juga sejak bangun tidur, Liam belum eek. Ini penting karena feses yang akan diperiksa gak boleh lebih dari satu jam. Sekitar setengah jam kemudian, Liam eek. Saya langsung ambil dan masukkan ke botol sampel. Saya telpon suami supaya pulang dan mengantar sampel ke RS. Sampai di RS, saya serahkan sampel ke petugas lab. Hasil baru keluar esok harinya.

Saya dengan suami deg degan. Mulai deh kumat browsing yang aneh aneh soal ISK. Sampai kami sempat mengira apa Liam benar terkena ISK. Kalau dicek tanda tandanya sih gak ada. Liam gak pernah kesakitan kalau sedang pipis. Lalu saya cerita ke salah satu teman dan dia bilang bisa jadi kena silent ISK. Waduh apalagi itu ☹ Langsung browsing dan ada blog yang cerita anaknya kena silent ISK. Makin was was lah saya dengan suami. Ada harapan semoga gak kena, tapi ada juga harapan supaya iya aja kena ISK supaya urusan BB Liam berakhir disini. Biar Liam udahan gak perlu tes ini itu lagi. Kami hampir yakin Liam kena silent ISK karena Liam sering berenang sambil telanjang baik di kolam karet biasa maupun di kolam publik.

Besoknya, kami ke RS sore untuk ngambil hasilnya. Daaaaan, jeng jeng jeng. NEGATIF! Liam gak ada indikasi ISK. Alhamdulillah. Kami lemes sekaligus bersyukur. Bersyukur karena ya siapa yang mau anak sakit kan. Lemesnya karena itu artinya Liam tetap harus tes darah. Pusing lagi saya dengan suami. Mana Liam sebelumnya berontak kan waktu akan diambil darahnya. Weekend selanjutnya, kami ke RS lagi untuk tes darah. Kali ini ibu mertua saya ajak untuk ikut megang Liam. Saya gak mau ikut megang Liam, takut ditolak gendong lagi. Petugas lab pun menambah satu orang lagi untuk megang Liam. Kami ke ruang sampel dan Liam langsung menangis teriak saat diajak masuk. Bisa ditebak, kejadian sebelumnya terulang lagi. Petugas lab gak menemukan pembuluh Liam karena dia gerak terus. Akhirnya udahan. Lagi. Saya bilang ke petugas lab, tunggu Liam tidur saja nanti kami panggil mbaknya. Lima belas menit kemudian Liam ga tidur-tidur. Gak mau saya gendong pula padahal udah gak ikut megang. Selama nunggu Liam tidur, suami browsing kalau ada Lab Anak di Jakarta yang punya prosedur khusus untuk pengambilan darah bayi dan anak. Namanya Prodia Child Lab. Trus kami mikir apa harus ke Jakarta? Akhirnya kami memutuskan untuk pulang saja.

Kebetulan disini ada Prodia juga. Kami pun kesana tanya-tanya. Ternyata kalo lab Prodia biasa, gak ada beda dengan di RS. Darah yang diambil 3 tabung juga. Kami pun menimbang-nimbang bagaimana baiknya untuk Liam. Secara Liam gak bisa anteng. Kami merasa butuh penanganan khusus bayi kalo sama Liam. Akhirnya kami berencana 2 minggu lagi ke Prodia Child Lab Jakarta. Ceritanya bisa dibaca disini. Nanti saya update lagi buat nyeritain gimana hasilnya 🙂

Cerita BB Liam Chapter 4

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *