“Dek, nanti kalo lahiran yang cepet ya, yang lancar biar ibu bisa cepet ketemu kamu”
Adalah mantra yang berulang kali saya ucapkan di 3 minggu terakhir sebelum melahirkan. Semacam sugesti yang bisa jadi akhirnya membuat saya berhasil melakukan persalinan normal setelah 20 jam berbaring di ruang khusus bersalin merasakan kontraksi tanpa henti.
Malam itu Senin, 14 Mei 2018 sekitar pukul 11 malam, saya merasakan kontraksi. Jedanya setiap 3-7 menit. Di tengah-tengah kesakitan saya memang masih sempat membuka fitur timer pada handphone untuk memastikan bahwa kontraksi saya ini bukan kontraksi palsu. Perut rasanya seperti kram saat haid dikali dua. Karena saat haid saya selalu merasakan kram perut luar biasa, jadi sewaktu kontraksi saya tidak terlalu kaget. Bedanya, saat kram haid saya bisa tidur sepuasnya untuk melupakan rasa sakit. Saat kontraksi, saya tidak bisa tidur.
Saya duduk diatas kasur bersender di dinding yang sudah diberi alas bantal sambil merintih. Suami saya pun tidak bisa tidur pula menenangkan saya karena lama kelamaan saya menangis. Kontraksi ini terus terasa sampai pukul 2 pagi sampai akhirnya saya ketiduran sambil duduk. Hingga subuh, kontraksi masih terjadi tapi dengan durasi yang lebih lama. Paginya sekitar jam 7, kontraksinya hilang sama sekali.
Esoknya Selasa, 15 Mei 2018 pukul 10 pagi, saya dan suami memutuskan untuk cek pembukaan ke rumah sakit. Cek pembukaan itu dilakukan oleh bidan/dokter dengan cara memasukkan jari ke vagina terus sampe ke rahim. Tidak perlu dibayangkan, yang jelas rasanya ingin nendang si bidan, hehehe. Setelah dicek, ternyata saya sudah pembukaan 1 dengan posisi kepala janin agak ke kanan. Saya ditawari rawat inap tetapi saya tolak karena 2 hari lagi jadwal cek dokter dan lagipula saya masih terlalu sehat untuk dirawat. Kami pun lanjut pulang. Kontraksi sesekali datang dengan jeda yang tidak tentu. Sorenya saat saya nonton Deadpool 2, di dalam bioskop pun saya masih merasakan kontraksi.
Dua hari kemudian Kamis, 17 Mei 2018 pukul 1 siang kami periksa rutin mingguan menjelang kelahiran ke rumah sakit. Saya sampaikan keluhan saya dua hari lalu dan mengenai cek pembukaan. Saat USG, ketuban saya sudah mulai keruh dan posisi janin diagonal. Kepala janin miring ke sebelah kanan sehingga tidak bisa masuk panggul. Dokter kemudian mengecek pembukaan dan masih 1. Lalu ia menyarankan untuk diakselerasi, jika sampai ketuban keruh janin tidak kunjung masuk panggul maka jalan terakhir c-section. Apa itu akselerasi? Akselerasi adalah istilah untuk induksi jika telah terjadi pembukaan. Kalau belum ada pembukaan disebut induksi. Keluar ruangan dokter, saya pun lemas. Saya tahan tahan air mata supaya keluar di rumah saja, tapi tetap merembes. Saya kuatir dengan bayi saya yang hidup di air ketuban keruh. Saya pun memutuskan untuk rawat inap malamnya sesuai anjuran dokter. Sebelum ke rumah sakit, saya mencoba menenangkan diri dengan makan malam di Sushi Tei.
Malam itu Kamis, 17 Mei 2018 pukul 8 malam kami tiba di rumah sakit untuk rawat inap. Suami berkali-kali meyakinkan agar tidak kuatir. Saya dipasang infus dan diperiksa macam-macam. Periksa tensi, darah, cardio dan cek pembukaan lagi. Masih pembukaan 1. Bidan jaga mengatakan, setelah berkonsultasi dengan dokter obgyn, subuh saya akan dicek pembukaan lagi. Jika belum bertambah, maka akan diakselerasi. Malam itu saya ditaruh di ruangan bersalin. Kebetulan rumah sakitnya sepi, jadi di ruangan tsb hanya ada saya, suami dan suster jaga. Pukul 11, saya mulai merasakan kontraksi lagi, kali ini tiap 10 menit. Tentu saja saya tidak bisa tidur. Suami saya menunggui sambil duduk. Mengingatkan bahwa jika kontraksi, tarik napas dan hembuskan. Mata saya berkali-kali tertuju pada jam di dinding. Menghitung jeda kontraksi. Lama kelamaan jedanya menjadi 5 menit.
“Dek, ayo nak kepalanya lurus. Bantu ibu ya biar sakitnya ga lama. Kan mau cepet ketemu dedek”
Adalah mantra kedua selama dirawat inap di rumah sakit. Menjadi doa yang akhirnya terkabul. Saya rasa bukan tidak mungkin ibu bisa berkomunikasi dengan janin seperti apa yang disebut pada kelas-kelas hypnobirthing.
Menjelang fajar pada Jumat, 18 Mei 2018 pukul 4 dinihari, datanglah bidan mengecek pembukaan. Alhamdulillah, bertambah menjadi 2. Namun posisi kepala janin masih miring. Akhirnya untuk mempercepat pembukaan, dilakukanlah akselerasi. Bidan mengganti infus, memasukkan suatu cairan yang kemudian membuat kontraksi saya muncul lagi. Kalau orang-orang bilang induksi lebih sakit dari kontraksi biasa, saya rasa sama saja. Waktu itu saya hanya berharap bisa tidur dan melupakan rasa sakitnya. Pun suami saya yang duduk di samping saya, berharap bisa tidur juga. Sekitar pukul 5 saya akhirnya tertidur.
Pukul 8 pagi, saya dikejutkan oleh suara ribut dari luar. Ternyata ada pasien yang akan melahirkan. Saya pun dipindahkan ke ruangan bersalin pasca operasi untuk sementara. Pasien itu ribut sekali. Berteriak-teriak kesakitan, rasa ingin mengejan katanya. Ternyata sudah pembukaan 4. Bidan sibuk menenangkan tetapi pasien tsb tidak mau tenang. Masih berteriak-teriak. Sejam kemudian terdengar suara tangisan bayi. Allahu akbar saya ingin sekali menangis. Betapa mudah dan cepatnya proses dia melahirkan. Berbeda sekali dengan saya yang masih terkapar tak berdaya. Saat itu saya berbisik kepada suami, bahwa saya sudah siap operasi kalau memang pagi ini dicek lagi pembukaan tidak bertambah. Dia mengangguk saja. Raut wajahnya lelah. Namun pagi itu ternyata bidan tak kunjung memeriksa pembukaan saya. Saya semakin campur aduk rasanya.
Pukul 12 siang, bidan jaga berganti dan saya mendapat yang senior. Pembukaan saya dicek lagi. Allahu akbar, sudah pembukaan 5 dan kepala janin sudah masuk panggul. Rasanya ingin sekali menangis dan memeluk suami saya tapi entah kenapa dari semenjak masuk rumah sakit, air mata saya seakan membeku. Lalu saya diminta bidan untuk tidur miring ke kiri agar mempercepat pembukaan. Pukul 2, bidak mengecek pembukaan lagi. Sudah pembukaan 7. Sedikit lagi, pikir saya.
“Dek, tinggal dikit lagi ayo lahiran. Ibu pengen cepet ketemu loh”
Mantra ketiga yang saya terus ucapkan dalam hati. Hal yang baru diceritakan suami saya setelah lahiran adalah menruut bidan, saya termasuk pasien yang diam. Oleh karenanya bidan harus berinisiatif mengecek kondisi saya. Berbeda dengan pasien tadi pagi yang berteriak-teriak. Saya hanya tersenyum mendengar cerita suami saya. Yang saya pikir saat itu adalah jika saya berteriak-teriak, tenaga saya akan habis saat persalinan tiba. Saya harus menyimpan tenaga yang tinggal sedikit ini. Sudah hampir habis merintih dalam hati merasakan kontraksi.
Pukul 4, bidan mengecek pembukaan lagi. Sudah pembukaan 10, tetapi kepala masih belum turun ke saluran lahir. Lalu bidan menelepon dokter dan dokter meminta untuk menunggu sampai kepalanya turun. Padahal rasanya perut ini sudah melilit ingin sekali rasanya mengejan. Bidan meminta saya tidur miring ke kiri agar kepala janin cepat turun.
Sepuluh menit, lima belas menit, kepala janin sudah turun ke saluran lahir. Bidan segera menelepon dokter. Dokter pun datang dan menjelaskan teknik untuk mengejan. Saat mengejan tidak boleh memejamkan mata dan berteriak. Proses persalinan pun dimulai. Saya diminta telentang tetapi kepala janin malah naik keatas lagi. Saya disuruh tidur miring lagi dan kepala janin turun lagi. Lalu saya telentang tetapi kepala janin naik keatas lagi. Akhirnya saya mengejan dengan posisi badan miring ke kiri hingga ketika kepala sudah hampir keluar, bidan meluruskan badan saya. Namun, tenaga saya sepertinya sudah tidak kuat lagi digunakan untuk mengejan. Pada akhirnya proses lahiran dibantu dengan vakum.
Senja itu, pukul 4 sekian, saya mendengar suara tangisan bayi. Allahu akbar. Allahu akbar. Saking terharunya, saya tidak bisa meneteskan air mata. Barangkali sudah habis saat kontraksi dan saat dijahit (saya yang patuh ketika dilarang berteriak saat mengejan, langsung berteriak sepuasnya ketika dijahit). Setelah semua proses selesai, badan saya langsung gemetaran. Benar-benar gemetar. Gemetar yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Terdengar sayup-sayup suami saya melantunkan adzan di sebelah kotak bayi berisi anak saya.
ANAK SAYA.
Allahu Akbar. Alhamdulillah.
Setelah 39 minggu ini merasakan kehamilan yang luar biasa, akhirnya saya melahirkan. Begini ya rasanya. Hmm, begini. Dan perjuangan saya ini juga berkat dukungan suami, yang selama hamil selalu mau menuruti keinginan saya. Juga saat menemani saya bersalin. Semalaman tidak bisa tidur nyenyak, sahur seadanya di warung pinggir rumah sakit, dan yang paling penting selalu menenangkan saya saat sudah stress dengan sakitnya kontraksi. Suami saya selalu di samping saya. Bahkan ketika dokter datang untuk memulai proses persalinan, suami saya tetap di samping saya (beberapa suami mual melihat proses persalinan). Terima kasih sayangku. Mari kita mulai hari-hari baru dengan ocehan si kecil ?