kerjaan, my day

Berjalan Menghadap Langit dan Bumi

Snappling [Dok.DJKN]

Kepala saya terasa berat menahan helm yang terlalu besar. Leher ini seperti berteriak minta segera disandarkan. Di siang terik yang entah pukul berapa (dua hari ini saya sudah tidak peduli lagi dengan jam), saya sedang mengantri wahana outbond. Tiga wahana sudah lewat dengan sukses. Kini di depan saya ada rintangan tali. Tingginya sekitar 3 meter dan berbentuk anyaman kotak-kotak. Saya tidak sabar ingin segera menyelesaikannya karena nun jauh disana, wahana kelima sudah melambai-lambai sambil membisikkan kalimat ‘ayo kemari’. Di sela-sela menunggu, saya dan teman-teman lain yang antri diajak berbincang oleh pelatih (kopassus) tentang apa, bagaimana dan mengapa wahana ini diciptakan. Begitu asyiknya berbincang hingga tiba giliran saya. Saya pun merayap dengan lancar. Bisa jadi berkat tubuh saya yang super-ringan.

Akhirnya saya pun lanjut ke wahana kelima, wahana paling ekstrem. Di hadapan saya, berdiri kokoh papan setinggi dua puluh meter. Tantangannya ada dua. Berjalan dengan posisi menghadap langit (snappling) dan menghadap bumi (running). Kelihatannya mudah dan menyenangkan. Tapi setelah berada diatas, kepala rasanya campur aduk, pandangan kosong, telinga tuli sesaat. Beberapa teman ada yang menangis.

Wow, begitu hebat efek yang dihasilkan. Tapi rasa menggebu-gebu ini mengalahkan rasa takut tipe apapun. Semakin teman-teman saya berteriak dan mulai meluncur satu persatu dari atas, semakin saya berbinar-binar. Maka tibalah giliran saya mencoba berjalan di papan dengan kepala menghadap langit. Tanpa ragu-ragu, saya naik kemudian ber-snappling-ria dengan lancar. Mulus.

Setelah semua teman-teman mendapat giliran snappling, maka selanjutnya adalah running. Giliran pun mulai tersendat. Beberapa teman perempuan membutuhkan waktu yang lebih lama berada diatas dibandingkan snappling. Saya pun merinding. Ini mengingatkan saya ketika naik wahana Giant Swing di Trans Studio Bandung 2 tahun silam. Rasanya tidak selucu naik Tornado ataupun Hysteria di Dufan.

Waktu terasa cepat dan giliran saya pun tiba. Seketika saya tidak lagi bersemangat dan menggebu-gebu. Kaki terasa berat melangkah menyusuri anak tangga. Setelah sampai diatas, para pelatih mengajak ngobrol dan bercanda untuk menghilangkan rasa grogi. Tertawa, tapi pikiran saya kosong. Lalu saya pun beranjak menuju tepi papan. Saya duduk. Pelatih beberapa kali bertanya apakah saya siap. Yang keluar dari mulut ini hanyalah ‘Sebentar’. Tiba-tiba tanpa disadari air mata menetes. Pelatih mencoba menenangkan tapi telinga saya seperti tersumbat. Maka, dengan sedikit dorongan (dalam arti sebenarnya) pelatih, saya mulai running dengan air mata yang entah mengapa terus keluar.

Helm yang saya pakai sengaja ditundukkan pelatih hingga mata saya tertutup. Mungkin, saya terlalu senang melihat langit hingga ketika saya harus menghadap bumi, saya tidak sanggup. Segitu tidak sanggupnya sampai-sampai tidak ingin menolehnya. Seakan tidak mau percaya bahwa yang dihadapi saat ini adalah bumi. Bumi tempat berasal, tempat tumbuh dan mengeruk ilmu.

Air mata mengalir terus meskipun dalam hati mempertanyakan, kenapa menangis? Berkali-kali otak memerintahkan untuk berhenti tapi syaraf mata menolak. Bahwa menangis adalah hal yang fitrah selayaknya saat bayi dilahirkan. Menangis, untuk menyesali apa yang mungkin langit telah butakan. 

Bisa jadi suatu saat nanti, pekerjaan yang paling kita benci adalah pekerjaan yang justru memberi kita penghasilan. Yang justru menyumbang atas apa-apa yang kita makan, atas apa-apa yang kita pakai dan atas apa-apa yang kita tempati. Sadarilah bahwa saat kita berjalan, kita memandang dua hal. Langit dan bumi.

“Saya dan kamu itu sama, yang ngebedain cuma di seragam aja.” 
―Kapten Infanteri Nur Alang

25 thoughts on “Berjalan Menghadap Langit dan Bumi

  1. waah aku pernah naik wahana ini. tidak segampang yg terlihat memang. dan aku baru ngeh dg makna wahana ini dr apa yg mbak uraikan.. terimakasih sudah berbagi mba nadiaa..

      1. Diklat teknis umum, mbak…. Kalo di Kementerian Keuangan selalu ngadain ini sebelum CPNS nya disebar ke wilayah Indonesia 😀

  2. Mbaaa. Aku tuh tau paham rasanya hahaha
    Tapi kalo diajakin main lg tetep hayuk aja meski tetep nano nano saat dititik itu
    Barakallahu fiik Mbaa

  3. Jadi ikut ngerasain baca ceritanya mba, krna saya ini takut ketinggian, klo naik giant swing happy tpi klo yg liat ke bawah lgsg gemetar lemes smua ??

Leave a Reply to tiara Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *